Bagi banyak orang lajang, traveling bukan hanya sekadar kegiatan menyenangkan, tapi juga menjadi kunci untuk mengusir stres. Kebebasan tanpa batas memungkinkan mereka menjelajahi tempat-tempat baru tanpa perlu memikirkan izin atau pertimbangan orang lain.

Ketika seseorang masih lajang, dunia terasa lebih terbuka. Tidak ada keterikatan yang mengikat, sehingga setiap langkah bisa diambil tanpa perlu memikirkan orang yang ditinggalkan. Bebas dari tanggung jawab anak, pasangan, atau keluarga, membuat perjalanan menjadi lebih santai dan tanpa beban.

Seiring berjalannya waktu, banyak dari mereka yang merasa bahwa dari berbagai cara yang dicoba untuk mengatasi rasa sepi, traveling menjadi yang paling ampuh. Pengaruh positif dari traveling mampu bertahan lebih lama dalam mengatasi stres. Beberapa orang bahkan mengaku bahwa efeknya tidak hanya terbatas pada kesejahteraan fisik, tetapi juga memberikan kepuasan emosional yang mendalam.

Sebuah artikel dari Kompas.com menyebutkan bahwa traveling, terutama saat masih muda, bukan hanya tentang menjelajahi tempat-tempat eksotis, tetapi juga simbol kekuatan dan keberhasilan seseorang. Posting foto perjalanan di media sosial, khususnya Instagram, menjadi cara simbolis untuk menunjukkan bahwa seseorang mampu bahagia dengan diri sendiri, tanpa perlu bergantung pada orang lain.

Namun, ironisnya, kegiatan solo traveling ini mungkin hanya efektif ketika masih muda. Di usia yang lebih tua, ketika bepergian jauh mungkin bukan lagi pilihan yang memungkinkan, teman bicara menjadi lebih berharga daripada perjalanan sendirian.

Sebuah pemikiran menarik muncul dari pengalaman solo traveler yang berharap dapat bertemu orang baru selama perjalanan. Meskipun harapannya adalah menemukan pasangan hidup, realitasnya seringkali berbeda. Para solo traveler cenderung lebih pendiam dan introvert, menciptakan kompleksitas dalam upaya mereka mencari teman hidup.

Menariknya, dalam konteks humor, banyak dari mereka yang mungkin mengoceh bahwa mereka tidak berniat menikah saat masih muda, namun kesepian di hari tua dapat menjadi suatu siksaan yang nyata. Penggambaran tragis muncul dengan bayangan seseorang yang mati sendirian di kamar tanpa ada yang menemani.

Sebuah cerita pribadi menambah dimensi pada pemahaman ini. Setelah wisuda, seseorang merencanakan perjalanan solo traveling untuk menikmati keindahan alam. Namun, ironisnya, pilihan ini diambil karena teman-teman sudah menjauh, bekerja secara konvensional, dan sulit diajak. Harapan akan petualangan seru dan berkesan tetap ada, meskipun dengan sentuhan ngenes yang mungkin menghantui.

Pentingnya memiliki teman bicara menjadi semakin terasa ketika melihat kasus solo traveler dari berita terkini. Seorang pria dari Blitar ditemukan tewas di kamar kos di Denpasar, Bali. Cerita ini menjadi pengingat bahwa dalam petualangan hidup, keberadaan teman atau sahabat memiliki nilai yang tak ternilai.

Sejatinya, solo traveling membuka pintu bagi banyak pengalaman menarik dan memori tak terlupakan. Namun, dalam merayakan kebebasan dan kemandirian, penting untuk tidak melupakan bahwa kehidupan lebih berarti ketika dapat dibagi bersama orang-orang yang peduli. Solo traveling mungkin menjadi obat ampuh untuk mengusir stres, tetapi memiliki teman-teman atau pasangan hidup dapat memberikan warna yang lebih dalam dalam perjalanan panjang kehidupan.